Suatu hari di dalam ruangan saya
yang sejuk tiba-tiba muncul bidadari Fakultas Dharma Duta, yang dengan
lembutnya membuka pintu dan mengatakan akan menghadap bapak Ketua LPM IHDN
Denpasar. Saya tertegun melihat body semampainya duduk didepan meja, dan begitu
terpesona mendengar untaian kata yang keluar dari mulutnya. “Maaf pak Ketut
saya mohon bisa membuat tulisan,
tulisannya tentang pengalaman spiritual pejabat muda”. “Pejabat muda?” Waduh
akhirnya ada yang mengatakan kebenaran bahwa saya itu memang masih muda. “Iya
Ibu, kalau sama ibu Yuli saya pasti menurut, pasti akan saya buatkan, ini semua
hanya untuk ibu Yuli”. Itulah jawaban pamungkas saya.
Setelah sang bidadari keluar
ruangan, saya mulai merenung apakah saya memiliki pengalaman spiritual. Rasanya
saya bukan orang spiritual, apalagi penganut spiritual. Cuma saya teringat
diskusi di kelas sewaktu kuliah S3 di Bandung, yakni mengenai artikel berjudul
“Religious Factors and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang melaporkan
hasil-hasil suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang
diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori), dimana penelitian tersebut
mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume neuroanatomi dalam
otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang mengubah kehidupan
seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan keanggotaan dalam komunitas
keagamaan. Hasil diskusi tersebut menyimpulkan bahwa pengalaman spiritual bisa
berlangsung bahkan dengan sangat intens karena organ otak manusia memang
memiliki berbagai kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu.
Semua pengalaman spiritual dengan demikian terhubung sangat kuat, hard-wired,
dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia hard-wired
dengan pengalaman spiritual. Karena semua orang memiliki neuroanatomi dalam
otaknya, maka pasti pernah memiliki pengalaman spiritual termasuk saya sendiri.
Dengan tugas menulis ini membuat
saya mulai mengingat-ingat pengalaman mana yang terkategori pengalaman
spiritual, apalagi tulisan tentang pengalaman ini akan banyak di baca oleh
banyak teman sejawat serta mahasiswa. Setelah merenung dan selesai meminum kopi
buatan staf plus membuka facebook, akhirnya saya mendapat inspirasi pengalaman
spiritual yang saya bisa tulis. Iya… pengalaman ini saya kategorikan spiritual
karena tidak hanya bersifat sekala tetapi juga ada unsur niskala. Pengalaman
ini terjadi di suatu malam lebih dari 10 tahun lalu, ketika saya dinyatakan
lulus dan di wisuda tepatnya tanggal 8 September 2004, bermimpi melihat bulan
dan mampu menyentuhnya. Saat itu saya tidak terlalu menghiraukan karena memang
tidak tahu artinya, namun setelah beberapa hari akhirnya mimpi ini saya
ceritakan sama “memek” di Ulakan.
Berselang sebulan, saya mendapat
informasi bahwa STAHN Denpasar, almamater saya membuka lowongan pengangkatan
CPNS untuk Dosen. Tanpa berpikir panjang saya bersama-sama teman sekelas
seperti Dr (Cand) Kadek Aria Prima Dewi PF, S.Ag., M.Pd. dan Jero Gede Rai
Parsua, S.Ag., M.Pd. memasukkan lamaran. Ketika memiliki kesempatan pulang
kampung saya menceritakan lamaran dosen ini kepada ibu “memek”. Ketika itu ibu
“memek” saya mengatakan bahwa saya pasti akan lulus, kira –kira beliau berkata
“Tut jeg pasti lulus ne”. “dadi keto mek” tanya saya. “Nah memek yakin sajan,
dibi ‘memek’ maan ngipi patuh ajak ane ortangang tut ipidan”. Setelah sebulan
berlalu, saya mengikuti Test Tertulis dengan keyakinan penuh pasti akan lulus.
Walaupun beberapa teman memprovokasi bahwa jika ingin lulus harus menyerahkan
sejumlah uang kepada oknum kampus, tetapi saya percaya dengan keyakinan dan
restu “memek”. Sebulan kemudian waktu pengumuman telah tiba, pagi-pagi sambil
menghilangkan rasa penasaran, saya membeli kopi di warung pak Kelian Banjar
Tatasan Kaja. Hayalan saya hilang ketika Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd.
datang memberikan kabar bahwa pengumuman telah di tempel dan mengatakan dirinya
telah lulus.
Cuma yang membuat jantung saya
terasa berhenti ketika dikatakan saya tidak lulus. Seketika saya lari kekampus
untuk melihat pengumuman tersebut dan memastikan keyakinan selama ini. Melihat
pengumuman yang tertempel, ucap syukur menyelimuti pikiran, nama saya I Ketut
Sudarsana, S.Ag. tercantum pada urutan nomor 5. Hal ini sesungguhnya
membuktikan bahwa doa dan restu orang tua itu sangat berpengaruh pada kehidupan
diri kita. Sehingga setiap bertemu ketika pulang kampung saya senantiasa
menyempatkan diri untuk sujud di kaki padma ibu “memek”, seraya mengucap doa
“Twameva mata cha pita twameva. Twameva bandhus cha sakha twameva. Twameva
vidya dravinam twameva. Twameva sarvam mama deva deva. Ketika membaca tulisan
ini tentu banyak pembaca yang merasa pengalaman saya ini bukanlah pengalaman
spiritual, karena tidak menyangkut hal-hal yang bersifat supranatural dan gaib.
Judul di atas “pengalaman spiritual pejabat muda” sesungguhnya agak dipaksakan
karena permintaan bidadari Fakultas Dharma Duta.
Tulisan ini pertamakali dimuat pada : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Tulisan ini pertamakali dimuat pada : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Suatu hari di dalam
ruangan saya yang sejuk tiba-tiba muncul bidadari Fakultas Dharma Duta,
yang dengan lembutnya membuka pintu dan mengatakan akan menghadap bapak
Ketua LPM IHDN Denpasar. Saya tertegun melihat body semampainya duduk
didepan meja, dan begitu terpesona mendengar untaian kata yang keluar
dari mulutnya. “Maaf pak Ketut saya mohon bisa membuat tulisan yang akan
terbit di Majalah Brahmastra, tulisannya tentang pengalaman spiritual
pejabat muda”. “Pejabat muda?” Waduh akhirnya ada yang mengatakan
kebenaran bahwa saya itu memang masih muda.
“Iya Ibu, kalau sama ibu Yuli saya pasti menurut, pasti akan saya
buatkan, ini semua hanya untuk ibu Yuli”. Itulah jawaban pamungkas saya.
Setelah sang bidadari keluar ruangan, saya mulai merenung apakah saya
memiliki pengalaman spiritual. Rasanya saya bukan orang spiritual,
apalagi penganut spiritual. Cuma saya teringat diskusi di kelas sewaktu
kuliah S3 di Bandung, yakni mengenai artikel berjudul “Religious Factors
and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang melaporkan hasil-hasil
suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang
diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori), dimana penelitian
tersebut mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume
neuroanatomi dalam otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
mengubah kehidupan seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan
keanggotaan dalam komunitas keagamaan. Hasil diskusi tersebut
menyimpulkan bahwa pengalaman spiritual bisa berlangsung bahkan dengan
sangat intens karena organ otak manusia memang memiliki berbagai
kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu. Semua
pengalaman spiritual dengan demikian terhubung sangat kuat, hard-wired,
dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia
hard-wired dengan pengalaman spiritual.
Karena semua orang memiliki neuroanatomi dalam otaknya, maka pasti
pernah memiliki pengalaman spiritual termasuk saya sendiri. Dengan tugas
menulis ini membuat saya mulai mengingat-ingat pengalaman mana yang
terkategori pengalaman spiritual, apalagi tulisan tentang pengalaman ini
akan banyak di baca oleh banyak teman sejawat serta mahasiswa.
Setelah merenung dan selesai meminum kopi buatan staf plus membuka
facebook, akhirnya saya mendapat inspirasi pengalaman spiritual yang
saya bisa tulis. Iya… pengalaman ini saya kategorikan spiritual karena
tidak hanya bersifat sekala tetapi juga ada unsur niskala.
Pengalaman ini terjadi di suatu malam lebih dari 10 tahun lalu, ketika
saya dinyatakan lulus dan di wisuda tepatnya tanggal 8 September 2004,
bermimpi melihat bulan dan mampu menyentuhnya. Saat itu saya tidak
terlalu menghiraukan karena memang tidak tahu artinya, namun setelah
beberapa hari akhirnya mimpi ini saya ceritakan sama “memek” di Ulakan.
Berselang sebulan, saya mendapat informasi bahwa STAHN Denpasar,
almamater saya membuka lowongan pengangkatan CPNS untuk Dosen. Tanpa
berpikir panjang saya bersama-sama teman sekelas seperti Dr (Cand) Kadek
Aria Prima Dewi PF, S.Ag., M.Pd. dan Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd.
memasukkan lamaran.
Ketika memiliki kesempatan pulang kampung saya menceritakan lamaran
dosen ini kepada ibu “memek”. Ketika itu ibu “memek” saya mengatakan
bahwa saya pasti akan lulus, kira –kira beliau berkata “Tut jeg pasti
lulus ne”. “dadi keto mek” tanya saya. “Nah memek yakin sajan, dibi
‘memek’ maan ngipi patuh ajak ane ortangang tut ipidan”.
Setelah sebulan berlalu, saya mengikuti Test Tertulis dengan keyakinan
penuh pasti akan lulus. Walaupun beberapa teman memprovokasi bahwa jika
ingin lulus harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum kampus, tetapi
saya percaya dengan keyakinan dan restu “memek”.
Sebulan kemudian waktu pengumuman telah tiba, pagi-pagi sambil
menghilangkan rasa penasaran, saya membeli kopi di warung pak Kelian
Banjar Tatasan Kaja. Hayalan saya hilang ketika Jero Gede Rai Parsua,
S.Ag., M.Pd. datang memberikan kabar bahwa pengumuman telah di tempel
dan mengatakan dirinya telah lulus. Cuma yang membuat jantung saya
terasa berhenti ketika dikatakan saya tidak lulus. Seketika saya lari
kekampus untuk melihat pengumuman tersebut dan memastikan keyakinan
selama ini. Melihat pengumuman yang tertempel, ucap syukur menyelimuti
pikiran, nama saya I Ketut Sudarsana, S.Ag. tercantum pada urutan nomor
5.
Hal ini sesungguhnya membuktikan bahwa doa dan restu orang tua itu
sangat berpengaruh pada kehidupan diri kita. Sehingga setiap bertemu
ketika pulang kampung saya senantiasa menyempatkan diri untuk sujud di
kaki padma ibu “memek”, seraya mengucap doa “Twameva mata cha pita
twameva. Twameva bandhus cha sakha twameva. Twameva vidya dravinam
twameva. Twameva sarvam mama deva deva.
Ketika membaca tulisan ini tentu banyak pembaca yang merasa pengalaman
saya ini bukanlah pengalaman spiritual, karena tidak menyangkut hal-hal
yang bersifat supranatural dan gaib. Judul di atas “pengalaman spiritual
pejabat muda” sesungguhnya agak dipaksakan karena permintaan bidadari
Fakultas Dharma Duta.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Suatu hari di dalam
ruangan saya yang sejuk tiba-tiba muncul bidadari Fakultas Dharma Duta,
yang dengan lembutnya membuka pintu dan mengatakan akan menghadap bapak
Ketua LPM IHDN Denpasar. Saya tertegun melihat body semampainya duduk
didepan meja, dan begitu terpesona mendengar untaian kata yang keluar
dari mulutnya. “Maaf pak Ketut saya mohon bisa membuat tulisan yang akan
terbit di Majalah Brahmastra, tulisannya tentang pengalaman spiritual
pejabat muda”. “Pejabat muda?” Waduh akhirnya ada yang mengatakan
kebenaran bahwa saya itu memang masih muda.
“Iya Ibu, kalau sama ibu Yuli saya pasti menurut, pasti akan saya
buatkan, ini semua hanya untuk ibu Yuli”. Itulah jawaban pamungkas saya.
Setelah sang bidadari keluar ruangan, saya mulai merenung apakah saya
memiliki pengalaman spiritual. Rasanya saya bukan orang spiritual,
apalagi penganut spiritual. Cuma saya teringat diskusi di kelas sewaktu
kuliah S3 di Bandung, yakni mengenai artikel berjudul “Religious Factors
and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang melaporkan hasil-hasil
suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang
diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori), dimana penelitian
tersebut mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume
neuroanatomi dalam otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
mengubah kehidupan seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan
keanggotaan dalam komunitas keagamaan. Hasil diskusi tersebut
menyimpulkan bahwa pengalaman spiritual bisa berlangsung bahkan dengan
sangat intens karena organ otak manusia memang memiliki berbagai
kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu. Semua
pengalaman spiritual dengan demikian terhubung sangat kuat, hard-wired,
dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia
hard-wired dengan pengalaman spiritual.
Karena semua orang memiliki neuroanatomi dalam otaknya, maka pasti
pernah memiliki pengalaman spiritual termasuk saya sendiri. Dengan tugas
menulis ini membuat saya mulai mengingat-ingat pengalaman mana yang
terkategori pengalaman spiritual, apalagi tulisan tentang pengalaman ini
akan banyak di baca oleh banyak teman sejawat serta mahasiswa.
Setelah merenung dan selesai meminum kopi buatan staf plus membuka
facebook, akhirnya saya mendapat inspirasi pengalaman spiritual yang
saya bisa tulis. Iya… pengalaman ini saya kategorikan spiritual karena
tidak hanya bersifat sekala tetapi juga ada unsur niskala.
Pengalaman ini terjadi di suatu malam lebih dari 10 tahun lalu, ketika
saya dinyatakan lulus dan di wisuda tepatnya tanggal 8 September 2004,
bermimpi melihat bulan dan mampu menyentuhnya. Saat itu saya tidak
terlalu menghiraukan karena memang tidak tahu artinya, namun setelah
beberapa hari akhirnya mimpi ini saya ceritakan sama “memek” di Ulakan.
Berselang sebulan, saya mendapat informasi bahwa STAHN Denpasar,
almamater saya membuka lowongan pengangkatan CPNS untuk Dosen. Tanpa
berpikir panjang saya bersama-sama teman sekelas seperti Dr (Cand) Kadek
Aria Prima Dewi PF, S.Ag., M.Pd. dan Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd.
memasukkan lamaran.
Ketika memiliki kesempatan pulang kampung saya menceritakan lamaran
dosen ini kepada ibu “memek”. Ketika itu ibu “memek” saya mengatakan
bahwa saya pasti akan lulus, kira –kira beliau berkata “Tut jeg pasti
lulus ne”. “dadi keto mek” tanya saya. “Nah memek yakin sajan, dibi
‘memek’ maan ngipi patuh ajak ane ortangang tut ipidan”.
Setelah sebulan berlalu, saya mengikuti Test Tertulis dengan keyakinan
penuh pasti akan lulus. Walaupun beberapa teman memprovokasi bahwa jika
ingin lulus harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum kampus, tetapi
saya percaya dengan keyakinan dan restu “memek”.
Sebulan kemudian waktu pengumuman telah tiba, pagi-pagi sambil
menghilangkan rasa penasaran, saya membeli kopi di warung pak Kelian
Banjar Tatasan Kaja. Hayalan saya hilang ketika Jero Gede Rai Parsua,
S.Ag., M.Pd. datang memberikan kabar bahwa pengumuman telah di tempel
dan mengatakan dirinya telah lulus. Cuma yang membuat jantung saya
terasa berhenti ketika dikatakan saya tidak lulus. Seketika saya lari
kekampus untuk melihat pengumuman tersebut dan memastikan keyakinan
selama ini. Melihat pengumuman yang tertempel, ucap syukur menyelimuti
pikiran, nama saya I Ketut Sudarsana, S.Ag. tercantum pada urutan nomor
5.
Hal ini sesungguhnya membuktikan bahwa doa dan restu orang tua itu
sangat berpengaruh pada kehidupan diri kita. Sehingga setiap bertemu
ketika pulang kampung saya senantiasa menyempatkan diri untuk sujud di
kaki padma ibu “memek”, seraya mengucap doa “Twameva mata cha pita
twameva. Twameva bandhus cha sakha twameva. Twameva vidya dravinam
twameva. Twameva sarvam mama deva deva.
Ketika membaca tulisan ini tentu banyak pembaca yang merasa pengalaman
saya ini bukanlah pengalaman spiritual, karena tidak menyangkut hal-hal
yang bersifat supranatural dan gaib. Judul di atas “pengalaman spiritual
pejabat muda” sesungguhnya agak dipaksakan karena permintaan bidadari
Fakultas Dharma Duta.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
0 komentar:
Posting Komentar